
PEMBANGUNAN, RUANG DAN SUMBERDAYA
Kalau kita mau belajar dari masa lalu, sejak zaman prasejarah sampai orde reformasi persoalan ruang merupakan masalah yang tak pernah usai. Sebab ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekspresi budaya masyarakat. Baik sebagai alat ekspresi kepentingan politik, sosial, ekonomi, budaya, religi dan media untuk menciptakan serta menguji teknologi lokal mereka. Dari proses itu hadir berbagai karakter dan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada ruang-ruang mikro.
Implementasinya terlihat dari berbagai bentuk pengelolaan seperti konsep simpukng, benung, tembawakng, hutan adat, parak, repong, talang, hompongan dan lainnya. Secara khusus sumberdaya alam hutan tetap menjadi sumberdaya terpenting bagi masyarakat, karena mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi mereka hutan bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistim kehidupan. Sehingga tidak didasari hanya pada kegiatan eksploitatif, tetapi dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutannya.
Sayangnya, kenyataan yang terjadi kebijakan pembangunan dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, tertutup, sektoral dan berorientasi target ekonomi sesaat yang menafikan peranserta masyarakat serta rendahnya komitmen politik pemerintah dan tidak berjalannya penegakan hukum menjadi titik kulminasi penyebab terjadinya kerusakan moral dan lingkungan. Ilmu ekonomi konvensional yang dipakai saat ini dan banyak berperan sebagai landasan pembangunan sangat jarang menyinggung masalah keberlanjutan fungsi ekosistem dan hak masyarakat. Pemerintah dan pelaku ekonomi didalam memanfaatkan fungsi ekonomi sumberdaya hutan khususnya yang dikedepankan hanya bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanamkan.
Sehingga saat ini persoalan pengelolaan sumberdaya hutan telah begitu rumit, bagai benang kusut yang tak kunjung bisa ditemukan ujung pangkalnya. Karena berkaitan dengan banyak kepentingan seperti politik, sosial, ekonomi juga bersentuhan dengan kebijakan yang telah ada selama ini dan kian kompleks dengan terjadinya krisis multi dimensi yang berlangsung berkepanjangan.
Mandat kepada negara untuk mengurus tata laksana pengelolaan sumberdaya alam berbasis ruang dengan menggunakan perencanaan pembangunan sebagai kerangka pengaturan dan hukum Indonesia. Konsep perencanaan yang dipakai adalah pembangunan wilayah, dimana pendekatan tata ruang atau wilayah menjadi basis dalam penjabaran perencanaan pembangunan. Pendekatan ruang menggunakan peta sebagai alat untuk memperjelas perencanaan dan pengaturan penggunaan lahan diatas kertas sarat informasi sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Peta juga digunakan sebagai alat pendistribusian lahan dan kejelasan status hukum atas tanah. Peta menjadi alat ampuh untuk memperlihatkan kejelasan aturan main dan hak, serta akses sumberdaya alam. Permasalahan yang terjadi pada perencanaan pembangunan wilayah terutama yang berkaitan dengan pendekatan wilayah di Indonesia adalah justru pada proses penyusunannya serta produknya yang dijadikan alat kekuasaan. Bisanya peta perancanaan tata ruang menjadi dasar permasalahan tumpang tindih atau sengketa kepentingan penggunaan lahan dan pengusahaan sumberdaya alam, baik antara pemerintah dan masyarakat maupun antar sektor pembangunan.
Sangat patut ketika rakyat sebagai pemberi mandat mempertanyakan sejauh mana nilai keberhasilan pembangunan ekonomi seperti ini, sementara dampak terhadap kerusakan lingkungan akibat proses pembangunan yang harus ditanggung oleh semua orang. Dampaknya sudah terjadi dan dirasakan seperti banjir besar-besaran diawal tahun ini, kebakaran hutan dalam skala besar, rusaknya hutan sebagai sumber hidup dan kehidupan dan meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun. Dengan kenyataan ini, upaya pelestarian lingkungan melalui kebijakan-kebijakan yang komprehensif mutlak terus diupayakan.
Berbagai persoalan yang muncul jangan hanya dilihat secara sektoral, tapi harus holistik. Sumberdaya alam hutan sebagai aset yang sengaja dieksploitasi untuk membiayai pembangunan memunculkan berbagai masalah yang berkaitan erat dengan persoalan-persoalan kebijakan pembangunan pada umumnya. Salah satu kesalahan yang paling fundamental diterapkannya penafsiran tunggal amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi "bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Artinya pengelolaan bumi, air dan segala kekayaan yang terdapat di Indonesia diatur oleh negara agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi celakanya, cenderung ditafsirkan secara keliru, dengan lebih menonjolkan aspek penguasaan negara, sehingga pemerintah merasa memiliki hak untuk membagi-bagikan pemilikan dan pemanfaatannya kepada orang-orang ataupun golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasaan, baik itu perusahaan dan pejabat negara, konglomerat, kerabat penguasa dan lainnya.
Mendorong Tataruang Mikro
Sebagai reaksi atas masih berlangsungnya penggunaan paradigma lama didalam pengelolaan sumberdaya hutan, sudah waktunya dibangun wacana dan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat disekitar dan didalam hutan juga ekologi, dimana negara melibatkan dan memasukan dimensi pemahaman ruang mikro oleh masyarakat didalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat adat dan lokal sebagai pemilik sumber daya alam diwilayahnya, memiliki pengetahuan dan informasi tentang potensi serta batas-batas wilayah kekuasaan mereka. Umumnya pengetahuan tersebut diperoleh secara lisan melalui cerita dari generasi sebelumnya. Pengakuan secara lisan yang berkembang ditengah mereka akhirnya berkembang menjadi kesepakatan yang dihargai oleh masyarakat disekitar dan terus berkembang. Masyarakat lain disekitar juga akan melakukan hal yang sama, sehingga masing–masing kelompok memiliki wilayah dengan batas-batas yang disepakati secara lisan, dengan memakai tanda alam, seperti sungai, bukit, ataupun bentuk lain dan kemudian menjadi batas yang dihormati.
Kalau kita mau belajar dari masa lalu, sejak zaman prasejarah sampai orde reformasi persoalan ruang merupakan masalah yang tak pernah usai. Sebab ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekspresi budaya masyarakat. Baik sebagai alat ekspresi kepentingan politik, sosial, ekonomi, budaya, religi dan media untuk menciptakan serta menguji teknologi lokal mereka. Dari proses itu hadir berbagai karakter dan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada ruang-ruang mikro.
Implementasinya terlihat dari berbagai bentuk pengelolaan seperti konsep simpukng, benung, tembawakng, hutan adat, parak, repong, talang, hompongan dan lainnya. Secara khusus sumberdaya alam hutan tetap menjadi sumberdaya terpenting bagi masyarakat, karena mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi mereka hutan bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistim kehidupan. Sehingga tidak didasari hanya pada kegiatan eksploitatif, tetapi dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutannya.
Sayangnya, kenyataan yang terjadi kebijakan pembangunan dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, tertutup, sektoral dan berorientasi target ekonomi sesaat yang menafikan peranserta masyarakat serta rendahnya komitmen politik pemerintah dan tidak berjalannya penegakan hukum menjadi titik kulminasi penyebab terjadinya kerusakan moral dan lingkungan. Ilmu ekonomi konvensional yang dipakai saat ini dan banyak berperan sebagai landasan pembangunan sangat jarang menyinggung masalah keberlanjutan fungsi ekosistem dan hak masyarakat. Pemerintah dan pelaku ekonomi didalam memanfaatkan fungsi ekonomi sumberdaya hutan khususnya yang dikedepankan hanya bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanamkan.
Sehingga saat ini persoalan pengelolaan sumberdaya hutan telah begitu rumit, bagai benang kusut yang tak kunjung bisa ditemukan ujung pangkalnya. Karena berkaitan dengan banyak kepentingan seperti politik, sosial, ekonomi juga bersentuhan dengan kebijakan yang telah ada selama ini dan kian kompleks dengan terjadinya krisis multi dimensi yang berlangsung berkepanjangan.
Mandat kepada negara untuk mengurus tata laksana pengelolaan sumberdaya alam berbasis ruang dengan menggunakan perencanaan pembangunan sebagai kerangka pengaturan dan hukum Indonesia. Konsep perencanaan yang dipakai adalah pembangunan wilayah, dimana pendekatan tata ruang atau wilayah menjadi basis dalam penjabaran perencanaan pembangunan. Pendekatan ruang menggunakan peta sebagai alat untuk memperjelas perencanaan dan pengaturan penggunaan lahan diatas kertas sarat informasi sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Peta juga digunakan sebagai alat pendistribusian lahan dan kejelasan status hukum atas tanah. Peta menjadi alat ampuh untuk memperlihatkan kejelasan aturan main dan hak, serta akses sumberdaya alam. Permasalahan yang terjadi pada perencanaan pembangunan wilayah terutama yang berkaitan dengan pendekatan wilayah di Indonesia adalah justru pada proses penyusunannya serta produknya yang dijadikan alat kekuasaan. Bisanya peta perancanaan tata ruang menjadi dasar permasalahan tumpang tindih atau sengketa kepentingan penggunaan lahan dan pengusahaan sumberdaya alam, baik antara pemerintah dan masyarakat maupun antar sektor pembangunan.
Sangat patut ketika rakyat sebagai pemberi mandat mempertanyakan sejauh mana nilai keberhasilan pembangunan ekonomi seperti ini, sementara dampak terhadap kerusakan lingkungan akibat proses pembangunan yang harus ditanggung oleh semua orang. Dampaknya sudah terjadi dan dirasakan seperti banjir besar-besaran diawal tahun ini, kebakaran hutan dalam skala besar, rusaknya hutan sebagai sumber hidup dan kehidupan dan meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun. Dengan kenyataan ini, upaya pelestarian lingkungan melalui kebijakan-kebijakan yang komprehensif mutlak terus diupayakan.
Berbagai persoalan yang muncul jangan hanya dilihat secara sektoral, tapi harus holistik. Sumberdaya alam hutan sebagai aset yang sengaja dieksploitasi untuk membiayai pembangunan memunculkan berbagai masalah yang berkaitan erat dengan persoalan-persoalan kebijakan pembangunan pada umumnya. Salah satu kesalahan yang paling fundamental diterapkannya penafsiran tunggal amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi "bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Artinya pengelolaan bumi, air dan segala kekayaan yang terdapat di Indonesia diatur oleh negara agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi celakanya, cenderung ditafsirkan secara keliru, dengan lebih menonjolkan aspek penguasaan negara, sehingga pemerintah merasa memiliki hak untuk membagi-bagikan pemilikan dan pemanfaatannya kepada orang-orang ataupun golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasaan, baik itu perusahaan dan pejabat negara, konglomerat, kerabat penguasa dan lainnya.
Mendorong Tataruang Mikro
Sebagai reaksi atas masih berlangsungnya penggunaan paradigma lama didalam pengelolaan sumberdaya hutan, sudah waktunya dibangun wacana dan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat disekitar dan didalam hutan juga ekologi, dimana negara melibatkan dan memasukan dimensi pemahaman ruang mikro oleh masyarakat didalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat adat dan lokal sebagai pemilik sumber daya alam diwilayahnya, memiliki pengetahuan dan informasi tentang potensi serta batas-batas wilayah kekuasaan mereka. Umumnya pengetahuan tersebut diperoleh secara lisan melalui cerita dari generasi sebelumnya. Pengakuan secara lisan yang berkembang ditengah mereka akhirnya berkembang menjadi kesepakatan yang dihargai oleh masyarakat disekitar dan terus berkembang. Masyarakat lain disekitar juga akan melakukan hal yang sama, sehingga masing–masing kelompok memiliki wilayah dengan batas-batas yang disepakati secara lisan, dengan memakai tanda alam, seperti sungai, bukit, ataupun bentuk lain dan kemudian menjadi batas yang dihormati.
Perkembangannya kemudian dirasakan oleh masyarakat bahwa penetapan batas atupun pengetahuan tentang letak potensi kekayaan Sumber daya alam yang mereka miliki tidak cukup dengan pernyataan lisan. Banyak pihak yang menarik keuntungan dengan kondisi ini. Berbagai pelanggaran batas serta pengerukan potensi sumber daya dilakukan oleh pihak yang dapat mengambil peluang akan lemahnya sistem penguasaan ruang atau wilayah oleh masyarakat secara lisan ini. Untuk itu timbul kesadaran kritis ditengah masyarakat untuk mempertegas ruang atau wilayah beserta potensi yang ada didalamnya melalui sebuah peta. Dengan demikian batas serta potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dapat secara jelas dan tegas diketahui melalui sebuah peta.
Lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membuka peluang keotonomian bagi sebuah komunitas (desa atau nama lain), yang notabene terikat dengan kesamaan geneologis dan atau teritorial. Penyebutan dan atau, lebih kepada mempertegas bahwa sebuah komunitas dapat dikatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum apabila memenuhi dua kategori. Pertama, berasal dari garis keturunan yang sama dan tinggal diwilayah yang sama pula. Kedua, tidak berasal dari keturunan yang sama, tetapi menetap diwilah yang sama. Dari kedua kategori tadi nampaknya kesamaan wilayah menjadi prasyarat yang utama. Sebagai prasyarat yang utama, maka komunitas harus mempunyai kepastian atau kejelasan batas wilayah, sehingga tidak mencaplok wilayah komunitas lain. Dari adanya kejelasan batas wilayah tersebut akan diatur dan disepakati tata peruntukan wilayah guna membuat perencanaan mendasar (grand desain) otonomi komunitas. Kebutuhan akan wilayah yang jelas tersebut semakin mendesak ketika batas-batas alam menurut cerita lisan dari mulut kemulut tidak dapat diterima lagi oleh semua pihak karena memang praktek penyelenggaraan negara dibawah rezim Orde Baru telah menjadi awal kehancuran batas-batas alam tersebut dan menggantinya dengan batas-batas administrasi yang manipulatif untuk membentuk Desa menurut kehendak UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. ketika UU No. 22 tahun 1999 diberlakukan misi otonomi yang dibawanya tidak hanya menjadikan Desa untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan, tetapi juga kepastian akan hak-hak atas ruang (wilayah desa). Sehingga otonomi desa dapat dilihat sebagai konsep yang utuh, bukan sesuatu yang timpang. Konsekuensinya penggambaran/ pemetaan ruang (wilayah) desa menjadi sebuah kebutuhan yang harus segera ditindaklanjuti kedepan.
Sering kali pelanggaran wilayah atau ruang kelola masyarakat desa oleh pihak luar ataupun masyarakat itu sendiri, karena ketidak jelasan batas ruang kelola. Alasan ketidak jelasan dan ketidak tahuan inilah menjadi alat legitimasi terhadap pelanggaran tersebut. Karena seringnya terjadi pelanggaran seperti ini, maka sudah saatnya didorong penataan dan pengelolaan ruang mikro. Sehingga wilayah kelola tersebut dapat diketahui dengan pasti. Beberapa peluang yang mungkin didorong adalah membangun alas hukum lokal seperti Peraturan Desa (Perdes), peraturan nagari (Perna), kesepakatan antar wilayah desa dan lainnya. Alas hukum ini akan di usung untuk menjadi substansi bagi perencanaan ruang yang lebih makro,baik levelKecamatan, kabupaten, Provinsi bahkan bisa didorong ke region pulau. Inisiasi ini bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat dilevel bawah yang selama ini terabaikan.