
Hari baru saja hujan, kendati tidak terlalu lebat. Jalan logging bagaikan kain basah yang kusust dan licin. Harus ekstra hati-hati untuk mengemudikan kendaraan roda dua, salah perhitungan sedikit pasti akan tersungkur dijalan berlumpur. Telah berkali-kali roda kendaraan berhenti berputar, karena telah penuh dengan tanah liat yang merah, sehingga harus dicungkil untuk bisa jalan kembali. Sekonyong-konyong terdengar suara menderu, tidak lama kemudian muncul mobil-mobil tronton berban sepuluh lewat. Diatasnya kayu-kayu bulat puluhan kubik erat terikat. Bagaikan strikaan, jalan kering dalam sekejap. Beberapa orang yang dijumpai menjelaskan bahwa kita harus hati-hati karena mobil-mobil logging merupakan raja jalanan disini, kalau tidak mengalah bisa terserempet.
Dikiri kanan jalan bekas kebakaran (pembakaran ?) hutan menjadi pemandangan panjang. Hanya Elang Hitam (Ictinaetus malayenis) sesekali berputar dan berteriak. Sekitar 86 Kilometer dari arah barat daya dari Rantau Keloyang ibu kota kecamatan Pelepat, dengan kondisi jalan 37 Kilometer jalan logging yang cukup baik, 7 Kilometer rusak dan sisanya jalan Kabupaten, perjalanan naik turun kendaraan baru berakhir. Batu Kerbau didepan mata. Udara sejuk, segera menyapa setelah hampir tiga bulan paru-paru dipenuhi asap sisa kebakaran hutan. Desa yang hampir semua penduduknya berasal dari etnis Minang Kabau merupakan salah satu dari 13 desa di Kecamatan Pelepat, terletak 366 Kilometer dari Ibukota Propinsi.
Sejarah desa Batu Kerbau diawali dari kedatangan Datuk Senaro Nan Putiah yang turun dari Alam Minang Kabau tepatnya Pagarruyung Tanah Datar melalui Alam Kerinci kemudian menghiliri Air Liki baru masuk ke Batang/sungai Pelepat di sekitar Gunung Rantau Bayur. Disanalah kemudian didirikan dusun dengan berbagai aktifitasnya seperti berternak dan berkebun. Pada suatu saat Kancil nan bertanduk emas hewan kesayangan Datuk hilang, membuat ia bersama Putri Jamilah istrinya turun mencari dengan membawa seluruh harta dan ternaknya sebanyak 99 ekor kerbau menaiki rakit. Ditengah perjalanan subang istrinya jatuh kedalam lubuk maka sebagai tanda diberi nama Lubuk Subang, ditempat lain seekor kucingnya juga tercebur, tempat tersebut dinamakan Lubuk Kucing.
Perjalanan terus berlanjut hingga suatu saat seekor kerbaunya meloncat kelubuk dan tidak mau naik rakit lagi, kebetulan lewatlah Sipahit Lidah dan langsung disapo/dikutuk menjadi batu. Lokasi kejadian itulah yang menjadi desa Batu Kerbau saat ini. Usaha pencarian diteruskan sampai ke Kerajaan Jambi, karena mendengar Raja Jambi punya Kancil nan bertanduk emas, ternyata memang betul binatang tersebut ditemukan, namun Raja Jambi tidak mau mengembalikannya, padahal Datuk Senanro Nan Putiah bersedia menukarkan seluruh hewan ternaknya untuk menebusnya. Akhirnya dicapailah kata sepakat, Raja Jambi tetap memelihara Kancil nan bertanduk emas sedangkan sebagai konsekuensinya Datuk Senanro Nan Putiah diberi tanah untuk tempat tinggal sesuai dengan pilihannya, akhirnya dipilihlah tumpak tanah tempat dimana kerbaunya menjadi batu yang di hilir berbatasan dengan Rio Maliko Lubuk Tekalak, di mudik dengan Batu Kijang Alam Kerinci. Kisah asal usul kejadian desa ini tetap diceritakan para orang tua pada anak-anaknya saat menjelang tidur.
Kearifan Tradisionil
Di desa Batu Kerbau harmoni kehidupan masyarakat begitu alami, hanya bermodal pancing, jala atau bubu masyarakat tidak akan takut tidak mendapat ikan untuk lauk sehari-hari. Penangkapan ikan dengan strum atau racun sangat diharamkan disini. Apabila sakit, bahan-bahan ureh untuk obat tradisionil bisa didapat di sesap-sesap maupun hutan desa. Juga buah-buahan , kekayuan, madu, rotan, pandan yang digunakan untuk membuat perlengkapan rumah tangga maupun membangun rumah.
Kondisi ini membuat masyarakat sangat melindungi sumberdaya alam desanya karena kalau habis mereka akan kesulitan mencari obat, lauk pauk maupun bahan bangunan. Sebab desa ini sangat jauh dari pasar. Untuk kepasar biasanya mereka menumpang mobil logging, tidak jarang yang berjalan kaki atau mencarter ojek dari desa sebelah. Untuk carter kendaraan minimal harus mengeluarkan uang Rp. 80.000. Kalau musim hujan bisa menggunakan rakit atau sampan. Sehingga keberadaan hutan disekitar desa sangat diperhatikan keberlanjutannya dan dilindungi.
M. Rasyid A.K yang telah menjabat Kepala Desa sejak tahun 1981 menjelaskan bahwa dari total luas wilayah 45.0000 Hektar, Hutan Adat desa sekitar 1.500 Hektar, Hutan Lindung Desa 2.500 Hektar dan Salak alam 330 Hektar. Batas-batas hutan belum definitif tapi masyarakat menggunakan batas-batas alami, untuk Hutan Adat Desa meliputi hutan yang berada antara Bukit Gedang dan Bukit Menangis yang terletak antara Batang Pelepat dan Batang Kibul. Sedangkan untuk Hutan Lindung Desa meliputi wilayah hutan yang berada antara Batang Pelepat, Batang Senamat Buat, Sungai Emas dan Sungai Isak. Sedangkan untuk Lubuk larangan, terdapat di hampir semua dusun yang mempunyai lubuk.
Kepala Desa yang biasa dipanggil Datuk menjelaskan latar belakang pembentukan dua kawasan lindung desa ini karena sepuluh tahun terakhir sangat gencar masuk berbagai izin Hak Pengusahaan Hutan dan areal Perkebunan Besar Swasta. Kondisi ini telah membuat desa-desa di sekitar Batu Kerbau kehilangan ulayatnya. Sebagai akibatnya banyak sesap juga hutan cadangan telah berubah fungsi. Masyarakat sendiri meyakini fungsi hutan sebagai sumber kekayan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan produk hutan non kayu seperti getah, rotan, damar, buah-buahan, tanaman obat-obatan, madu, kayu bangunan, protein hewani, tempat rekreasi, sumber mata air, bagian dari sisitim budaya khususnya masyarakat adat dan mengatur iklim. Sehingga masyarakat sangat berkopenten untuk menjaga dan mengawetkannya.
Lewat pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Kaum Adat dan pemuda pada tahun 1995 disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Hutan adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta Pemerintahan desa, sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat setinggi 26 meter, air terjun Sei Seketan I setinggi 65 meter dan Sei Seketan II setinggi 42 meter, gua-gua alam, panorama yang indah, dan tempat untuk bersampan serta memancing. Pihak Kecamatan sendiri sangat mendukung pembentukan kawasan lindung desa, bahkan Asep Hermawan Sekertaris Kecamatan Pelepat sangat berperan aktif didalam mewujudkan konsep kawasan lindung ini, sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan sumberdayanya. Sehingga masyarakat sendiri menganggap kalau Asep sudah menjadi bagian dari mereka.
M. Amin selaku Ketua Kerlompok Masyarakat Adat menjelaskan sangsi yang akan dikenankan bila anggota masyarakat melanggar kesepakatan adat baik mengambil kayu, membuka areal perladangan dikawasan yang dilindungi, menagkap ikan sebelum waktu yang ditentukan dilubuk larangan tanpa izi akan dikenakan sangsi adat. Sipelanggar ahrus meminta maaf secara adat dan membayar denda berupa satu ekor kambing, beras 20 gantang dan kain 4 kayu. Sampai sekarang belum ada satu orangpun yang melanggar kesepakatan ini.
Dikawasan hutan adat menurut masyarakat terdapat Rusa (Cervus unicolor), Kancil (Tragulus javanicus), Babi Hutan (Sus scrofa), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Beruk (Macaca nemestrina), Elang Ular (Spilornis cheela), Gagak Hutan (Corvus enca), Harimau Sumatera (Phantera tigris Sumatrae), Kuaw (Argosianus argus), Kalong (Pteropos vampyris), Kera (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Murai Batu (Copsycus malabaricus), Musang (Paradoxurus hermaphroditus), Rangkong (Buceros rhinoceros), Siamang (Symphalangus syndactylus), Simpai (Presbytis melalophos), Tenuk (Tapirus indicus), Ungko (Hylobates agilis) dan lainnya. Selain itu juga terdapat rotan, manu, damar , meranti, jelutung, gaharu dan lainnya.
Kawasan yang berisi tanaman khas desa berupa salak rimba dengan luas total 30 ha berada menyebar di sekeliling desa. Masyarakat menggolongkannya dalam beberapa jenis yaitu:, salak kelapa berkulit coklat dengan biji goncang rasanya manis dengan ukuran sebesar telur, salak abu berwarna coklat biji lekatpada daging buah rasanya manis, salak ular berwarna coklat biji lekat kedaging buah banyak mengandung air, salak tembaga berkulit kepala merah biji lekat pada daging buah rasanya manis, salak bawang berwarna coklat rasanya agakl kelat berukuran kecil. Selain itu juga enau yang berjumlah sekitar 1.200 batang terdapat di Hutan Adat dan Lindung Desa juga terdapat dikebun dan sesap masyarakat. Tumbuhan ini digolongkan oleh masyarakat dalam beberapa jenis seperti enau gajah daunnya rimbun dengan ruas pendek, batangnya besar, ijuknya rimbun dan tandannya panjang, serta rasa air manis. Enau berban berdaun rimbun, ruas panjang dengan tandan pendek, ijuk tipis dan rasanya manis. Enau ketari berdaun rimbun berbatang kecil, daun panjang, ijuk pendek dan rasanya manis. Tumbuhan ini baru dimanfaatkan sekedarnya, biasanya diambil niranya untuk bahan pembuat gula, ijuk serta daunnya untuk atap dan bahan kerajinan, sedangkan buahnya hanya sekali-kali diambil untuk dijadikan kolang-kaling/biluluak. Biasanya pada bulan puasa.
Ditepi-tepi ladang dan sesap terdapat Durian yang luasnya sekitar 110 Hektar, tumbuh liar, sehingga pada musim durian siapa saja bisa menikmatinya. Sedangkan duku, rambutan, biasanya ditanam dikebun bersama kulitmanis, karet dan tanaman lainnya.
Lubuk larangan yang terdapat di Batu Kerbau, Batu Kucing, Lubuk Tebat serta Belukar Panjang menyimpan berbagai potensi jenis ikan lokal yang saat ini mulai jarang ditemukan seperti ikan semah, barau, meta, dalum, baung, batu, bajubang belang, belido. Bahkan pada tahun 1996 saat diadakan panen oleh Bupati Kabupaten Bungo Tebo di Lubuk Larangan.ini didapat ikan semah seberat 16 kg. Hasil panen ikan lebih dari 1 ton, uang penjualan di gunakan untuk membangun sarana umum bagi kepentingan masyarakat. Harga ikan di Batu Kerbau relatif murah, untuk berbagai jenis ikan hanya Rp. 1.500/kg, sedangkan untuk semah Rp. 3000, padahal kalau di jual di pasar harga ikan rata-rata Rp. 5000/kg, dan untuk semah di Muara Bungo mencapai Rp. 15.000/kg.
Budaya tradisionil yang mengedepankan tokoh adat didalam penyelesaian konflik masyarakat, pemanfaatan sumberdaya alam juga berperan didalam menentukan waktu bertanamn padi. Nandung yaitu dendang sayang ibu-ibu yang menina bobokan anak-anakanya hampir terdengan tiap saat pada tiap rumah, sembari memasak atau aktifitas lainnya kaum ibu tetap menunjukan kasih sayangnya dengan dendang nan merdu. Nandung Salawat Nabi, kerap didendangkanpada masa penen sebagaiungkapan puji dan syukur atas keberhasilan panen. Pada musim menanjak padi dendang muda-mudi yang memadu kasih, terdengar seirama dengan terampilnya jemari mereka memanen padi. Nandung Air Liki dan parak lamapi kerap terdengar ditengah rimba dan ladang, didendangkanuntuk mengusir sunyi. Tari rangguk, piring, permainan ambung gilo dan lukah gilo menjadi permainan anak negeri yang tetap lestari sampai hari ini.
Desa dengan jumlah penduduk 897 jiwa atau 178 kepala keluarga yang terdiri dari 397 pria dan 500 wanita, berbatasan dengan Batu Bertanduk desa Muara Buat Kecamatan Rantau Pandan di sebelah Uatara, di Selatan berbatasan dengan jalan logging Kabupaten Sarolangun Bangko, di sebelah Timur dengan sungai Sikapas Kecil desa Baru Pelepat dan Barat dengan Batu Mato Kijang kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Kerinci. Pemenuhan kebutuhan pangan berupa beras didapat dari ladang yang ditanami padi ladang, biasanya masa panen diupayakan sebelum puasa, menerapkan pola pertanian tumpang sari dengan sayuran, karet, kulit manis, bedaro, kuluntunjuk, bacang dan cempedak hutan. Untuk mengobati penyakit didesa ini terdapat 18 dukun bayi terdiri dari 8 orang wanita dan 10 orang pria juga merangkap untuk pengobatan berbagai penyakit lainnya.
Keberadaan areal Hak Pengusahaan Hutan yang berbatasan langsung dengan wilayah desa dikuatirkan masyarakat akan merusak hutan adat dan lindung desa, karena pernah ada kejadian pihak HPH mengambil kayu dari hutan mereka. Belum jelasnya tata batas dan tidak adanya peta hutan lindung dan adat desa membuat masyarakat terkadang ragu apakah operasi HPH sudah masuk ke kawasan mereka atau belum. Kondisi ini terkadang dimanfaatkan oleh pihak luar untuk mengambil kayu dari kawasan ini.
Masyarakat sendiri untuk kehidupan sehari-hari sangat tergantung dari tanaman karet dan kulit manis, dan hampir semua penduduk pernah menjadi penambang emas tradisionil di sungai-sungai sekitar desa. Penambangan sederhana dengan menggunakan dulang biasanya dilakukan masyarakat ketika ada waktu senggang setelah menyelesaikan pekerjaan diladang dan tanaman karet tidak bisa disadap.
Keberadaan tanaman buah-buahan sampai saat ini belum termanfaatkan, karena jauhnya jarak desa dengan pasar. Sehingga pada saat musim salak, duku, rambutan atau durian biasanya tidak termakan oleh masyarakat. Untuk dijual keluar desa perlu modal yang besar khususnya untuk biaya angkut.
Kondisi yang begitu bersahaja dan akrab dengan alam mulai terusik sejak adanya
pengembangan besar-besaran hutan untuk industri kayu, pengalihan fungsi futan alam yang heterogen menjadi hutan tanaman homogen sehingga mengancam keanekaragaman hayati dan khasanah budaya masyarakat, pemnfaatan berlebihan oleh masyarakat luar desa yang hidup disekitar hutan karena makin sempitnya lahan budidaya dan peningkatan jumlah penduduk.
Masyarakat saat ini terus cemas jangan-jangan hutan yang selama ini mereka lindung dan kelola akan menjadi areal konsesi HPH atau perkebunan besar swasta, untuk itu daerah yang dijadikan Kaji Tindak IDT untuk Propinsi Jambi dan pernah dikunjungi Pak Mubyarto ini perlu dihargai kearifan tradisinya. Jangan sampai keraifan tradisionil ini kalah dari ilmu ekonomi konvensional yang sangat jarang menyinggung masalah lingkungan. Kondisi yang ada adalah pembukaan hutan untuk perkebunan swasta dan HPH sering hanya melihat sisi ekonominya saja, bagai mana dengan modal sekecil kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waku secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanaman dan dipertahankan selama-lamanya tanpa memperhatikan kesejahteraan dan penghargaan terhadap budaya masyarakat lokal.
Keberadaan kawasan konsesi HPH di desa ini dirasakan oleh masyarakat tidak ada manfaatnya bagi mereka, justru dengan pembalakan di hulu sungai kerap menimbulkan bencana seperti terjadinya air bah, air sungai keruh padahal masyarakat sangat tergantung dengan sungai sebagai tempat mengambil air minum, mandi dan cuci. Sehingga hampir tiap tahun penyakit muntaber menjadi wabah rutin yang harus ditanggung masyarakat, belum lagi meningkatnya serangan hama babi akibat penebangan hutan.
Apakah kehidupan sehari-hari masyarakat yang akrab dengan lingkungannya yang telah berjalan berpuluh tahun harus dikorbankan untuk mendongkrak ekonomi sesaat ? Sementara masyarakat hanya jadi penonton ketika sumberdayanya diangkut keluar dari hadapannya tanpa meninggalkan manfaat, dan bencana yang ditinggalkan siap untuk diterima.
Dikiri kanan jalan bekas kebakaran (pembakaran ?) hutan menjadi pemandangan panjang. Hanya Elang Hitam (Ictinaetus malayenis) sesekali berputar dan berteriak. Sekitar 86 Kilometer dari arah barat daya dari Rantau Keloyang ibu kota kecamatan Pelepat, dengan kondisi jalan 37 Kilometer jalan logging yang cukup baik, 7 Kilometer rusak dan sisanya jalan Kabupaten, perjalanan naik turun kendaraan baru berakhir. Batu Kerbau didepan mata. Udara sejuk, segera menyapa setelah hampir tiga bulan paru-paru dipenuhi asap sisa kebakaran hutan. Desa yang hampir semua penduduknya berasal dari etnis Minang Kabau merupakan salah satu dari 13 desa di Kecamatan Pelepat, terletak 366 Kilometer dari Ibukota Propinsi.
Sejarah desa Batu Kerbau diawali dari kedatangan Datuk Senaro Nan Putiah yang turun dari Alam Minang Kabau tepatnya Pagarruyung Tanah Datar melalui Alam Kerinci kemudian menghiliri Air Liki baru masuk ke Batang/sungai Pelepat di sekitar Gunung Rantau Bayur. Disanalah kemudian didirikan dusun dengan berbagai aktifitasnya seperti berternak dan berkebun. Pada suatu saat Kancil nan bertanduk emas hewan kesayangan Datuk hilang, membuat ia bersama Putri Jamilah istrinya turun mencari dengan membawa seluruh harta dan ternaknya sebanyak 99 ekor kerbau menaiki rakit. Ditengah perjalanan subang istrinya jatuh kedalam lubuk maka sebagai tanda diberi nama Lubuk Subang, ditempat lain seekor kucingnya juga tercebur, tempat tersebut dinamakan Lubuk Kucing.
Perjalanan terus berlanjut hingga suatu saat seekor kerbaunya meloncat kelubuk dan tidak mau naik rakit lagi, kebetulan lewatlah Sipahit Lidah dan langsung disapo/dikutuk menjadi batu. Lokasi kejadian itulah yang menjadi desa Batu Kerbau saat ini. Usaha pencarian diteruskan sampai ke Kerajaan Jambi, karena mendengar Raja Jambi punya Kancil nan bertanduk emas, ternyata memang betul binatang tersebut ditemukan, namun Raja Jambi tidak mau mengembalikannya, padahal Datuk Senanro Nan Putiah bersedia menukarkan seluruh hewan ternaknya untuk menebusnya. Akhirnya dicapailah kata sepakat, Raja Jambi tetap memelihara Kancil nan bertanduk emas sedangkan sebagai konsekuensinya Datuk Senanro Nan Putiah diberi tanah untuk tempat tinggal sesuai dengan pilihannya, akhirnya dipilihlah tumpak tanah tempat dimana kerbaunya menjadi batu yang di hilir berbatasan dengan Rio Maliko Lubuk Tekalak, di mudik dengan Batu Kijang Alam Kerinci. Kisah asal usul kejadian desa ini tetap diceritakan para orang tua pada anak-anaknya saat menjelang tidur.
Kearifan Tradisionil
Di desa Batu Kerbau harmoni kehidupan masyarakat begitu alami, hanya bermodal pancing, jala atau bubu masyarakat tidak akan takut tidak mendapat ikan untuk lauk sehari-hari. Penangkapan ikan dengan strum atau racun sangat diharamkan disini. Apabila sakit, bahan-bahan ureh untuk obat tradisionil bisa didapat di sesap-sesap maupun hutan desa. Juga buah-buahan , kekayuan, madu, rotan, pandan yang digunakan untuk membuat perlengkapan rumah tangga maupun membangun rumah.
Kondisi ini membuat masyarakat sangat melindungi sumberdaya alam desanya karena kalau habis mereka akan kesulitan mencari obat, lauk pauk maupun bahan bangunan. Sebab desa ini sangat jauh dari pasar. Untuk kepasar biasanya mereka menumpang mobil logging, tidak jarang yang berjalan kaki atau mencarter ojek dari desa sebelah. Untuk carter kendaraan minimal harus mengeluarkan uang Rp. 80.000. Kalau musim hujan bisa menggunakan rakit atau sampan. Sehingga keberadaan hutan disekitar desa sangat diperhatikan keberlanjutannya dan dilindungi.
M. Rasyid A.K yang telah menjabat Kepala Desa sejak tahun 1981 menjelaskan bahwa dari total luas wilayah 45.0000 Hektar, Hutan Adat desa sekitar 1.500 Hektar, Hutan Lindung Desa 2.500 Hektar dan Salak alam 330 Hektar. Batas-batas hutan belum definitif tapi masyarakat menggunakan batas-batas alami, untuk Hutan Adat Desa meliputi hutan yang berada antara Bukit Gedang dan Bukit Menangis yang terletak antara Batang Pelepat dan Batang Kibul. Sedangkan untuk Hutan Lindung Desa meliputi wilayah hutan yang berada antara Batang Pelepat, Batang Senamat Buat, Sungai Emas dan Sungai Isak. Sedangkan untuk Lubuk larangan, terdapat di hampir semua dusun yang mempunyai lubuk.
Kepala Desa yang biasa dipanggil Datuk menjelaskan latar belakang pembentukan dua kawasan lindung desa ini karena sepuluh tahun terakhir sangat gencar masuk berbagai izin Hak Pengusahaan Hutan dan areal Perkebunan Besar Swasta. Kondisi ini telah membuat desa-desa di sekitar Batu Kerbau kehilangan ulayatnya. Sebagai akibatnya banyak sesap juga hutan cadangan telah berubah fungsi. Masyarakat sendiri meyakini fungsi hutan sebagai sumber kekayan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan produk hutan non kayu seperti getah, rotan, damar, buah-buahan, tanaman obat-obatan, madu, kayu bangunan, protein hewani, tempat rekreasi, sumber mata air, bagian dari sisitim budaya khususnya masyarakat adat dan mengatur iklim. Sehingga masyarakat sangat berkopenten untuk menjaga dan mengawetkannya.
Lewat pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Kaum Adat dan pemuda pada tahun 1995 disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Hutan adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta Pemerintahan desa, sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat setinggi 26 meter, air terjun Sei Seketan I setinggi 65 meter dan Sei Seketan II setinggi 42 meter, gua-gua alam, panorama yang indah, dan tempat untuk bersampan serta memancing. Pihak Kecamatan sendiri sangat mendukung pembentukan kawasan lindung desa, bahkan Asep Hermawan Sekertaris Kecamatan Pelepat sangat berperan aktif didalam mewujudkan konsep kawasan lindung ini, sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan sumberdayanya. Sehingga masyarakat sendiri menganggap kalau Asep sudah menjadi bagian dari mereka.
M. Amin selaku Ketua Kerlompok Masyarakat Adat menjelaskan sangsi yang akan dikenankan bila anggota masyarakat melanggar kesepakatan adat baik mengambil kayu, membuka areal perladangan dikawasan yang dilindungi, menagkap ikan sebelum waktu yang ditentukan dilubuk larangan tanpa izi akan dikenakan sangsi adat. Sipelanggar ahrus meminta maaf secara adat dan membayar denda berupa satu ekor kambing, beras 20 gantang dan kain 4 kayu. Sampai sekarang belum ada satu orangpun yang melanggar kesepakatan ini.
Dikawasan hutan adat menurut masyarakat terdapat Rusa (Cervus unicolor), Kancil (Tragulus javanicus), Babi Hutan (Sus scrofa), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Beruk (Macaca nemestrina), Elang Ular (Spilornis cheela), Gagak Hutan (Corvus enca), Harimau Sumatera (Phantera tigris Sumatrae), Kuaw (Argosianus argus), Kalong (Pteropos vampyris), Kera (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Murai Batu (Copsycus malabaricus), Musang (Paradoxurus hermaphroditus), Rangkong (Buceros rhinoceros), Siamang (Symphalangus syndactylus), Simpai (Presbytis melalophos), Tenuk (Tapirus indicus), Ungko (Hylobates agilis) dan lainnya. Selain itu juga terdapat rotan, manu, damar , meranti, jelutung, gaharu dan lainnya.
Kawasan yang berisi tanaman khas desa berupa salak rimba dengan luas total 30 ha berada menyebar di sekeliling desa. Masyarakat menggolongkannya dalam beberapa jenis yaitu:, salak kelapa berkulit coklat dengan biji goncang rasanya manis dengan ukuran sebesar telur, salak abu berwarna coklat biji lekatpada daging buah rasanya manis, salak ular berwarna coklat biji lekat kedaging buah banyak mengandung air, salak tembaga berkulit kepala merah biji lekat pada daging buah rasanya manis, salak bawang berwarna coklat rasanya agakl kelat berukuran kecil. Selain itu juga enau yang berjumlah sekitar 1.200 batang terdapat di Hutan Adat dan Lindung Desa juga terdapat dikebun dan sesap masyarakat. Tumbuhan ini digolongkan oleh masyarakat dalam beberapa jenis seperti enau gajah daunnya rimbun dengan ruas pendek, batangnya besar, ijuknya rimbun dan tandannya panjang, serta rasa air manis. Enau berban berdaun rimbun, ruas panjang dengan tandan pendek, ijuk tipis dan rasanya manis. Enau ketari berdaun rimbun berbatang kecil, daun panjang, ijuk pendek dan rasanya manis. Tumbuhan ini baru dimanfaatkan sekedarnya, biasanya diambil niranya untuk bahan pembuat gula, ijuk serta daunnya untuk atap dan bahan kerajinan, sedangkan buahnya hanya sekali-kali diambil untuk dijadikan kolang-kaling/biluluak. Biasanya pada bulan puasa.
Ditepi-tepi ladang dan sesap terdapat Durian yang luasnya sekitar 110 Hektar, tumbuh liar, sehingga pada musim durian siapa saja bisa menikmatinya. Sedangkan duku, rambutan, biasanya ditanam dikebun bersama kulitmanis, karet dan tanaman lainnya.
Lubuk larangan yang terdapat di Batu Kerbau, Batu Kucing, Lubuk Tebat serta Belukar Panjang menyimpan berbagai potensi jenis ikan lokal yang saat ini mulai jarang ditemukan seperti ikan semah, barau, meta, dalum, baung, batu, bajubang belang, belido. Bahkan pada tahun 1996 saat diadakan panen oleh Bupati Kabupaten Bungo Tebo di Lubuk Larangan.ini didapat ikan semah seberat 16 kg. Hasil panen ikan lebih dari 1 ton, uang penjualan di gunakan untuk membangun sarana umum bagi kepentingan masyarakat. Harga ikan di Batu Kerbau relatif murah, untuk berbagai jenis ikan hanya Rp. 1.500/kg, sedangkan untuk semah Rp. 3000, padahal kalau di jual di pasar harga ikan rata-rata Rp. 5000/kg, dan untuk semah di Muara Bungo mencapai Rp. 15.000/kg.
Budaya tradisionil yang mengedepankan tokoh adat didalam penyelesaian konflik masyarakat, pemanfaatan sumberdaya alam juga berperan didalam menentukan waktu bertanamn padi. Nandung yaitu dendang sayang ibu-ibu yang menina bobokan anak-anakanya hampir terdengan tiap saat pada tiap rumah, sembari memasak atau aktifitas lainnya kaum ibu tetap menunjukan kasih sayangnya dengan dendang nan merdu. Nandung Salawat Nabi, kerap didendangkanpada masa penen sebagaiungkapan puji dan syukur atas keberhasilan panen. Pada musim menanjak padi dendang muda-mudi yang memadu kasih, terdengar seirama dengan terampilnya jemari mereka memanen padi. Nandung Air Liki dan parak lamapi kerap terdengar ditengah rimba dan ladang, didendangkanuntuk mengusir sunyi. Tari rangguk, piring, permainan ambung gilo dan lukah gilo menjadi permainan anak negeri yang tetap lestari sampai hari ini.
Desa dengan jumlah penduduk 897 jiwa atau 178 kepala keluarga yang terdiri dari 397 pria dan 500 wanita, berbatasan dengan Batu Bertanduk desa Muara Buat Kecamatan Rantau Pandan di sebelah Uatara, di Selatan berbatasan dengan jalan logging Kabupaten Sarolangun Bangko, di sebelah Timur dengan sungai Sikapas Kecil desa Baru Pelepat dan Barat dengan Batu Mato Kijang kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Kerinci. Pemenuhan kebutuhan pangan berupa beras didapat dari ladang yang ditanami padi ladang, biasanya masa panen diupayakan sebelum puasa, menerapkan pola pertanian tumpang sari dengan sayuran, karet, kulit manis, bedaro, kuluntunjuk, bacang dan cempedak hutan. Untuk mengobati penyakit didesa ini terdapat 18 dukun bayi terdiri dari 8 orang wanita dan 10 orang pria juga merangkap untuk pengobatan berbagai penyakit lainnya.
Keberadaan areal Hak Pengusahaan Hutan yang berbatasan langsung dengan wilayah desa dikuatirkan masyarakat akan merusak hutan adat dan lindung desa, karena pernah ada kejadian pihak HPH mengambil kayu dari hutan mereka. Belum jelasnya tata batas dan tidak adanya peta hutan lindung dan adat desa membuat masyarakat terkadang ragu apakah operasi HPH sudah masuk ke kawasan mereka atau belum. Kondisi ini terkadang dimanfaatkan oleh pihak luar untuk mengambil kayu dari kawasan ini.
Masyarakat sendiri untuk kehidupan sehari-hari sangat tergantung dari tanaman karet dan kulit manis, dan hampir semua penduduk pernah menjadi penambang emas tradisionil di sungai-sungai sekitar desa. Penambangan sederhana dengan menggunakan dulang biasanya dilakukan masyarakat ketika ada waktu senggang setelah menyelesaikan pekerjaan diladang dan tanaman karet tidak bisa disadap.
Keberadaan tanaman buah-buahan sampai saat ini belum termanfaatkan, karena jauhnya jarak desa dengan pasar. Sehingga pada saat musim salak, duku, rambutan atau durian biasanya tidak termakan oleh masyarakat. Untuk dijual keluar desa perlu modal yang besar khususnya untuk biaya angkut.
Kondisi yang begitu bersahaja dan akrab dengan alam mulai terusik sejak adanya
pengembangan besar-besaran hutan untuk industri kayu, pengalihan fungsi futan alam yang heterogen menjadi hutan tanaman homogen sehingga mengancam keanekaragaman hayati dan khasanah budaya masyarakat, pemnfaatan berlebihan oleh masyarakat luar desa yang hidup disekitar hutan karena makin sempitnya lahan budidaya dan peningkatan jumlah penduduk.
Masyarakat saat ini terus cemas jangan-jangan hutan yang selama ini mereka lindung dan kelola akan menjadi areal konsesi HPH atau perkebunan besar swasta, untuk itu daerah yang dijadikan Kaji Tindak IDT untuk Propinsi Jambi dan pernah dikunjungi Pak Mubyarto ini perlu dihargai kearifan tradisinya. Jangan sampai keraifan tradisionil ini kalah dari ilmu ekonomi konvensional yang sangat jarang menyinggung masalah lingkungan. Kondisi yang ada adalah pembukaan hutan untuk perkebunan swasta dan HPH sering hanya melihat sisi ekonominya saja, bagai mana dengan modal sekecil kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waku secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanaman dan dipertahankan selama-lamanya tanpa memperhatikan kesejahteraan dan penghargaan terhadap budaya masyarakat lokal.
Keberadaan kawasan konsesi HPH di desa ini dirasakan oleh masyarakat tidak ada manfaatnya bagi mereka, justru dengan pembalakan di hulu sungai kerap menimbulkan bencana seperti terjadinya air bah, air sungai keruh padahal masyarakat sangat tergantung dengan sungai sebagai tempat mengambil air minum, mandi dan cuci. Sehingga hampir tiap tahun penyakit muntaber menjadi wabah rutin yang harus ditanggung masyarakat, belum lagi meningkatnya serangan hama babi akibat penebangan hutan.
Apakah kehidupan sehari-hari masyarakat yang akrab dengan lingkungannya yang telah berjalan berpuluh tahun harus dikorbankan untuk mendongkrak ekonomi sesaat ? Sementara masyarakat hanya jadi penonton ketika sumberdayanya diangkut keluar dari hadapannya tanpa meninggalkan manfaat, dan bencana yang ditinggalkan siap untuk diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar