Kamis, 24 April 2008

KONSEP


PEMBANGUNAN, RUANG DAN SUMBERDAYA


Kalau kita mau belajar dari masa lalu, sejak zaman prasejarah sampai orde reformasi persoalan ruang merupakan masalah yang tak pernah usai. Sebab ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekspresi budaya masyarakat. Baik sebagai alat ekspresi kepentingan politik, sosial, ekonomi, budaya, religi dan media untuk menciptakan serta menguji teknologi lokal mereka. Dari proses itu hadir berbagai karakter dan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada ruang-ruang mikro.

Implementasinya terlihat dari berbagai bentuk pengelolaan seperti konsep simpukng, benung, tembawakng, hutan adat, parak, repong, talang, hompongan dan lainnya. Secara khusus sumberdaya alam hutan tetap menjadi sumberdaya terpenting bagi masyarakat, karena mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar mereka seperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi, ketentraman dan lainnya. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan agar dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi mereka hutan bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistim kehidupan. Sehingga tidak didasari hanya pada kegiatan eksploitatif, tetapi dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutannya.

Sayangnya, kenyataan yang terjadi kebijakan pembangunan dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, tertutup, sektoral dan berorientasi target ekonomi sesaat yang menafikan peranserta masyarakat serta rendahnya komitmen politik pemerintah dan tidak berjalannya penegakan hukum menjadi titik kulminasi penyebab terjadinya kerusakan moral dan lingkungan. Ilmu ekonomi konvensional yang dipakai saat ini dan banyak berperan sebagai landasan pembangunan sangat jarang menyinggung masalah keberlanjutan fungsi ekosistem dan hak masyarakat. Pemerintah dan pelaku ekonomi didalam memanfaatkan fungsi ekonomi sumberdaya hutan khususnya yang dikedepankan hanya bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waktu yang secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanamkan.

Sehingga saat ini persoalan pengelolaan sumberdaya hutan telah begitu rumit, bagai benang kusut yang tak kunjung bisa ditemukan ujung pangkalnya. Karena berkaitan dengan banyak kepentingan seperti politik, sosial, ekonomi juga bersentuhan dengan kebijakan yang telah ada selama ini dan kian kompleks dengan terjadinya krisis multi dimensi yang berlangsung berkepanjangan.

Mandat kepada negara untuk mengurus tata laksana pengelolaan sumberdaya alam berbasis ruang dengan menggunakan perencanaan pembangunan sebagai kerangka pengaturan dan hukum Indonesia. Konsep perencanaan yang dipakai adalah pembangunan wilayah, dimana pendekatan tata ruang atau wilayah menjadi basis dalam penjabaran perencanaan pembangunan. Pendekatan ruang menggunakan peta sebagai alat untuk memperjelas perencanaan dan pengaturan penggunaan lahan diatas kertas sarat informasi sumberdaya alam yang terkandung didalamnya. Peta juga digunakan sebagai alat pendistribusian lahan dan kejelasan status hukum atas tanah. Peta menjadi alat ampuh untuk memperlihatkan kejelasan aturan main dan hak, serta akses sumberdaya alam. Permasalahan yang terjadi pada perencanaan pembangunan wilayah terutama yang berkaitan dengan pendekatan wilayah di Indonesia adalah justru pada proses penyusunannya serta produknya yang dijadikan alat kekuasaan. Bisanya peta perancanaan tata ruang menjadi dasar permasalahan tumpang tindih atau sengketa kepentingan penggunaan lahan dan pengusahaan sumberdaya alam, baik antara pemerintah dan masyarakat maupun antar sektor pembangunan.

Sangat patut ketika rakyat sebagai pemberi mandat mempertanyakan sejauh mana nilai keberhasilan pembangunan ekonomi seperti ini, sementara dampak terhadap kerusakan lingkungan akibat proses pembangunan yang harus ditanggung oleh semua orang. Dampaknya sudah terjadi dan dirasakan seperti banjir besar-besaran diawal tahun ini, kebakaran hutan dalam skala besar, rusaknya hutan sebagai sumber hidup dan kehidupan dan meningkatnya jumlah DAS kritis setiap tahun. Dengan kenyataan ini, upaya pelestarian lingkungan melalui kebijakan-kebijakan yang komprehensif mutlak terus diupayakan.

Berbagai persoalan yang muncul jangan hanya dilihat secara sektoral, tapi harus holistik. Sumberdaya alam hutan sebagai aset yang sengaja dieksploitasi untuk membiayai pembangunan memunculkan berbagai masalah yang berkaitan erat dengan persoalan-persoalan kebijakan pembangunan pada umumnya. Salah satu kesalahan yang paling fundamental diterapkannya penafsiran tunggal amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi "bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Artinya pengelolaan bumi, air dan segala kekayaan yang terdapat di Indonesia diatur oleh negara agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tapi celakanya, cenderung ditafsirkan secara keliru, dengan lebih menonjolkan aspek penguasaan negara, sehingga pemerintah merasa memiliki hak untuk membagi-bagikan pemilikan dan pemanfaatannya kepada orang-orang ataupun golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasaan, baik itu perusahaan dan pejabat negara, konglomerat, kerabat penguasa dan lainnya.

Mendorong Tataruang Mikro
Sebagai reaksi atas masih berlangsungnya penggunaan paradigma lama didalam pengelolaan sumberdaya hutan, sudah waktunya dibangun wacana dan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat disekitar dan didalam hutan juga ekologi, dimana negara melibatkan dan memasukan dimensi pemahaman ruang mikro oleh masyarakat didalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat adat dan lokal sebagai pemilik sumber daya alam diwilayahnya, memiliki pengetahuan dan informasi tentang potensi serta batas-batas wilayah kekuasaan mereka. Umumnya pengetahuan tersebut diperoleh secara lisan melalui cerita dari generasi sebelumnya. Pengakuan secara lisan yang berkembang ditengah mereka akhirnya berkembang menjadi kesepakatan yang dihargai oleh masyarakat disekitar dan terus berkembang. Masyarakat lain disekitar juga akan melakukan hal yang sama, sehingga masing–masing kelompok memiliki wilayah dengan batas-batas yang disepakati secara lisan, dengan memakai tanda alam, seperti sungai, bukit, ataupun bentuk lain dan kemudian menjadi batas yang dihormati.


Perkembangannya kemudian dirasakan oleh masyarakat bahwa penetapan batas atupun pengetahuan tentang letak potensi kekayaan Sumber daya alam yang mereka miliki tidak cukup dengan pernyataan lisan. Banyak pihak yang menarik keuntungan dengan kondisi ini. Berbagai pelanggaran batas serta pengerukan potensi sumber daya dilakukan oleh pihak yang dapat mengambil peluang akan lemahnya sistem penguasaan ruang atau wilayah oleh masyarakat secara lisan ini. Untuk itu timbul kesadaran kritis ditengah masyarakat untuk mempertegas ruang atau wilayah beserta potensi yang ada didalamnya melalui sebuah peta. Dengan demikian batas serta potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dapat secara jelas dan tegas diketahui melalui sebuah peta.

Lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membuka peluang keotonomian bagi sebuah komunitas (desa atau nama lain), yang notabene terikat dengan kesamaan geneologis dan atau teritorial. Penyebutan dan atau, lebih kepada mempertegas bahwa sebuah komunitas dapat dikatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum apabila memenuhi dua kategori. Pertama, berasal dari garis keturunan yang sama dan tinggal diwilayah yang sama pula. Kedua, tidak berasal dari keturunan yang sama, tetapi menetap diwilah yang sama. Dari kedua kategori tadi nampaknya kesamaan wilayah menjadi prasyarat yang utama. Sebagai prasyarat yang utama, maka komunitas harus mempunyai kepastian atau kejelasan batas wilayah, sehingga tidak mencaplok wilayah komunitas lain. Dari adanya kejelasan batas wilayah tersebut akan diatur dan disepakati tata peruntukan wilayah guna membuat perencanaan mendasar (grand desain) otonomi komunitas. Kebutuhan akan wilayah yang jelas tersebut semakin mendesak ketika batas-batas alam menurut cerita lisan dari mulut kemulut tidak dapat diterima lagi oleh semua pihak karena memang praktek penyelenggaraan negara dibawah rezim Orde Baru telah menjadi awal kehancuran batas-batas alam tersebut dan menggantinya dengan batas-batas administrasi yang manipulatif untuk membentuk Desa menurut kehendak UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. ketika UU No. 22 tahun 1999 diberlakukan misi otonomi yang dibawanya tidak hanya menjadikan Desa untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan, tetapi juga kepastian akan hak-hak atas ruang (wilayah desa). Sehingga otonomi desa dapat dilihat sebagai konsep yang utuh, bukan sesuatu yang timpang. Konsekuensinya penggambaran/ pemetaan ruang (wilayah) desa menjadi sebuah kebutuhan yang harus segera ditindaklanjuti kedepan.

Sering kali pelanggaran wilayah atau ruang kelola masyarakat desa oleh pihak luar ataupun masyarakat itu sendiri, karena ketidak jelasan batas ruang kelola. Alasan ketidak jelasan dan ketidak tahuan inilah menjadi alat legitimasi terhadap pelanggaran tersebut. Karena seringnya terjadi pelanggaran seperti ini, maka sudah saatnya didorong penataan dan pengelolaan ruang mikro. Sehingga wilayah kelola tersebut dapat diketahui dengan pasti. Beberapa peluang yang mungkin didorong adalah membangun alas hukum lokal seperti Peraturan Desa (Perdes), peraturan nagari (Perna), kesepakatan antar wilayah desa dan lainnya. Alas hukum ini akan di usung untuk menjadi substansi bagi perencanaan ruang yang lebih makro,baik levelKecamatan, kabupaten, Provinsi bahkan bisa didorong ke region pulau. Inisiasi ini bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat dilevel bawah yang selama ini terabaikan.

Selasa, 22 April 2008

CATATAN NOSTALGIA PERJALANAN


HARIMAU SUMATERA (Phantera tigris Sumatrae) TERPERANGKAP ANTARA
KEPERCAYAAN DAN KEMUSNAHAN


Malam itu, baru saja kami selesai makan. Terdengar suara ranting berderak. Segera kami ambil senter dan senapan. Lewat cahaya senter tampak berdiri dengan kukuh inyiak balang dimuka kami.

"Inyiak kami sedang berburu, untuk cari makan. Silahkan kalau inyiak mau lewat", ucap Pak Mandua menceritakan pengalamannya. Mantan pemburu yang telah lima tahun lebih menghentikan aktifitasnya, segera menyambung ucapannya.

"Apabila inyiak balang (sebutan masyarakat Muara Labuh untuk harimau) segera pergi setelah senter kami matikan berarti dia bersahabat, namun kalau sebaliknya akan menyerang, segera saya tembak. Saya tidak berburu harimau, tapi kalau nyawa terancam apa boleh buat. Saya menghormati harimau, sebab dialah penunjuk jalan bagi para perimba serta pemburu, kalau tersesat didalam hutan. Jantung, hati serta isi perut binatang buruan yang didapat selalu kami berikan, sebagai ucapan terima kasih pada harimau". Itulah sekelumit pandangan seorang pemburu pada harimau.

Abasri, penduduk Lempur sekaligus staf WWF ID 0094 menjelaskan secara tradisionil harimau mempunyai posisi yang penting, sebagai penjaga keamanan kampung. Tunggu pematang, merupakan sebutan istimewa harimau oleh masyarakat Kerinci untuk tugasnya sebagai penjaga kampung. Sering pula disebut dengan Ninek atau Tuo Ninek. Masing-masing harimau mempunyai wilayah tersendiri. Apabila ada harimau dari luar yang mengganggu kampung, seperti menerkam manusia maupun ternak, biasanya penunggu pematang akan menghalangi dan menantang, maka terjadilah pertarungan yang seru antara harimau pendatang dan tuan rumah. Bila tunggu pematang menang, tidak pernah ada lagi serangan harimau.

Diwilayah Sumatera Barat harimau juga diyakini punya fungsi sebagai penjaga kampung serta memberi peringatan bila akan terjadi bencana alam. Sebelum terjadinya galodo/air bah di Muara Labuh pada awal 1995 lalu, beberapa orang masyarakat menceritakan pernah mendengar auman harimau berulang-ulang. Mereka yakin itu tanda akan terjadi sesuatu, karena harimau mempunyai naluri yang halus dan tidak dimiliki oleh manusia. Entah kebetulan atau memang benar, terjadilah peristiwa galodo saat menjelang sahur, sekitar pukul tiga dini hari. Selain itu bila harimau telah sering terlihat penduduk disekitar hutan, atau keluar masuk kampung biasanya mengingatkan telah terjadinya peristiwa asusila. Sehingga harus segera dicari siapa pelakunya, biasanya diselesaikan secara adat.

Sebutan terhormat kerap diberikan masyarakat disekitar hutan pada harimau seperti datuak, inyiak, niniak, ninek, tuo ninek juga nenek. Penghargaan yang demikian besar telah diberikan oleh masyarakat sejak zaman dulu, seakan menggambarkan hubungan yang harmonis, saling menghormati juga saling menguntungkan antara masyarakat dengan harimau. Selain menjaga kampung harimau juga sebagai pemangsa babi yang utama, dengan adanya tunggu pematang biasanya serangan hama babi relatif kecil bahkan tidak ada sama sekali.

Para pemburu enggan membunuh harimau, kendati telah terjerat perangkap juga saat tersesat masuk kampung asal tidak mengganggu. "Saya pernah mendapati harimau yang terjerat, malah tiga kali dengan harimau yang sama dan selalu saya lepas karena harimau merasa bersalah tidak mampu menggiring kambing hutan atau rusa ke tali jerat yang saya pasang. Sebagai ganti dia menjeratkan dirinya", kenang Malintang Sati.

Dengan capak-capak baruak/mantera yang dimilikinya, harimau diminta untuk menggiring binatang buruan kearah jerat yang telah dipasang, sedangkan pemasang jerat hanya menunggu dirumah sembari membakar kemenyan. Kalau sudah ada yang terjerat, biasanya akan muncul tanda-tanda khusus yang dirasakan. Saat ditengok nampaklah binatang buruan meronta-ronta terkena jerat, dengan harimau tegak menunggu dibalik semak-semak. Sebagai hadiah, jantung, hati beserta isi perut diberikan pada harimau, tapi tidak boleh diberi dengan tangan, harus dibungkus dengan daun.

Hubungan psikologis yang harmonis antara manusia dan harimau terkadang menjadi rusak, baik oleh ulah manusia maupun harimau sendiri. Cerita manusia atau ternak yang diterkam harimau biasanya menjadi berita rutin diberbagai daerah. Untuk Sumatera Barat, daerah Kabupaten Pesisir Selatan, Solok Selatan, Sijunjung maupun Pasaman, Sedangkan didaerah Bengkulu, di Rejang Lebong dan Bengkulu Utara, di Jambi Kerinci, Sarolangun Bangko, Muara Bungo, di Sumatera Selatan daerah Musi Rawas yang juga termasuk daerah disekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang kerap diganggu harimau.

Seringnya harimau menyerang manusia maupun ternak, salah satu faktor karena ulah manusia yang merubah hutan-hutan primer menjadi daerah pemukiman,persawahan, kebun, perladangan, kawasan HPH, kebun-kebun besar maupun untuk tambang. Sehingga daya jelajah harimau makin sempit, binatang buruan yang biasanya mudah didapat semakin sulit karena harus bersaing dengan manusia. Sebagai akibatnya, binatang ternak maupun manusia harus menanggung akibatnya.

Masyarakat tradisionil masih percaya kalau harimau menyerang manusia pasti ada sebab khusus, misalnya manusia berbuat salah, melakukan tindakan tidak senonoh atau sering menganiyaya harimau. Harimau tunggu pematang yang berfungsi sebagai penjaga, diyakini tidak akan pernah berbuat jahat. Harimau pendatang yang sering menyerang.

Kalau ada harimau menerkam manusia, menurut cerita masyarakat harimau tersebut akan diasingkan oleh sesamanya, selama tiga bulan tidak akan dapat makanan serta harus menuruni puluhan lurah dan menyebrangi puluhan sungai. Baru kalau masih hidup akan terampuni dosanya. Sebab manusia merupakan mahluk istimewa dan pilihan. Hukum dirimba akan mengadili harimau yang bersalah dihadapan tetua harimau, kemudian diusir dari kawasannya untuk menebus dosa.
Harimau yang sering memangsa ternak maupun manusia, bisa dipanggil oleh orang pintar dengan mantra tertentu. Harimau akan ke kampung dan masuk kedalam perangkap yang telah disediakan. Barulah orang pintar mengadilinya, bila bersalah langsung dibunuh. Mayat harimau akan dikuburkan secara khusus dengan jalan menaburkan beras kuning serta ramuan khusus ditas kuburannya. Kulit serta tubuhnya tidak diusik sedikitpun.

Meningkatnya nilai ekonomi harimau, baik kulit, tulang, gigi, kuku maupun dagingnya membuat harimau terus diburu. Mitos yang mentasbihkan bahwa mata harimau bisa untuk obat liver, tulang untuk rematik, daging untuk obat kuat dan anti asma, kumisnya untuk racun serta taring untuk penangkal racun menyebabkan seluruh bagian tubuh harimau diburu dan mempunyai harga.

Uwo Abeh, nama akrab Abasri mengemukakan kalau kulit harimau bisa berharga 2,5 juta, sedangkan tulangnya sekitar Rp. 85.000 - 100.000/Kg. Didaerah Lempur, kampung Uwo sendiri sudah mulai dimasuki para pemburu yang berasal dari Siulak dan Solok. Rata-rata satu regu pemburu beranggotakan 6 orang, perlengkapan yang dibawa tali wing untuk jerat serta strom dan aki. Tali wing berguna untuk menjerat binatang buruan sedangkan strom untuk mencari ikan. Harimau, rusa, kambing hutan, babi atau binatang apapun yang terjerat akan dikuliti dan dibuat dendeng, untuk dijual dipasar. Kekuatiran Uwo, nanti masyarakat tertipu dengan dendeng babi yang jelas-jelas diharamkan untuk umat Islam, selain akan memusnahkan harimau sebagai salah satu binatang yang dilindungi oleh Undang-undang.

Biasanya para pemburu masuk lewat Masgo, Salimpaung, Serampas, Ranah Kemumu, Manjunto maupun Sungai Renah dan keluarnya lewat Lempur, seluruh wilayah buruannya masuk kedalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Waktu operasi pemburu, dari mulai memasang jerat sampai keluar mengangkut hasil sekitar satu bulan, bahkan bisa lebih.

Upaya penanggulangan, telah dilakukan Uwo, dengan cara melaporkan pada petugas Taman Nasional Kerinci Seblat. Karena keterbatasan personil di TNKS, membuat upaya pencegahan belum dilaksanakan dengan baik.

Masyarakat dipinggir kawasan TNKS sendiri tetap menganggap harimau sebagai sahabat, sebagai gambaran seorang ibu rumah tangga pada tahun 1994 menemukan anak harimau yang terjebak disawah rawa. Harimau kecil itu diserahkan ke WWF ID 0094 untuk dipelihara, sebab dirinya merasa tidak mampu memelihara dengan baik, namun sayang kendati telah diobati oleh dokter hewan, karena banyaknya lintah didalam hidungnya, harimau itu mati kekurangan darah.

Harimau sebagai hewan yang bernilai tinggi, seperti juga badak terus dicari oleh para pemburu. Hayalan memperoleh uang jutaan dengan waktu relatif singkat, membuat harimau makin sulit dijumpai. Khasiat tubuh harimau yang dijadikan mitos sebagai obat berbagai penyakit oleh manusia membuat harimau harus menghadapi serbuan para peminatnya.

Masyarakat yang hidup disekitar hutan paling merasakan akibat dari perburuan ini, harimau yang terluka dan dendam pada manusia akan melampiaskan kesumatnya dengan menyerang manusia serta ternak. Belum lagi makin menggilanya serangan hama babi akibat makin langkanya harimau, membuat hasil pertanian terus menurun tiap tahunnya. Untuk mengatasi ini diperlukan biaya yang tidak sedikit, seperti membeli racun maupun tali. Kalau kondisi ini terus berlanjut bukan hal yang tidak mungkin kekurangan pangan akan melanda masyarakat.

Kapankah, persahabatan antara harimau dengan manusia seperti kearifan lama menjadi terwujud dizaman seperti ini ? dizaman yang melihat sesuatunya dari nilai ekonomi tanpa ada fikiran untuk bersahabat dan saling mengasihi ?

TAKSUDAH DIRUNDUNG MALANG


(Pengalaman di dalam Mendorong Proses Pengakuan Hak Kelola Rakyat di Batu Kerbau)

Potret Batu Kerbau
Sampai hari ini sumberdaya hutan hanya dipandang sebagai aset yang dieksploitasi untuk membiayai pembangunan, sehingga munculah berbagai persoalan terkait dengan kebijakan pengelolaan hutan. Pengelolaan yang seragam, sentralistik, nirpartisipasi rakyat, padat modal dan monopolistik seperti ini selain boros sumberdaya, penuh dengan konflik serta tidak berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. Dampaknya adalah hilangnya akses masyarakat adat dan lokal yang telah berabad lamanya tergantung dari hutan, bahkan lebih parah lagi mereka harus tersingkir dari hutan, bagian terpenting dari kehidupannya.

Batu Kerbau merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo Jambi. Desa berluas wilayah 45.000 hektar ini berbatasan wilayah dengan desa Muara Buat Kecamatan Rantau Pandan di sebelah Utara, Taman Nasional Kerinci Seblat di sebelah Barat, HPH PT.Rimba Karya Indah dan Kecamatan Tabir Ulu di sebelah selatan serta dengan Baru Pelepat di sebelah Timur. Terdiri dari empat dusun yaitu Batu kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang dan Simpang Raya, Hutan secara tradisonal telah mempunyai peran yang sangat penting karena merupakan sumber air, menyediakan lahan yang diperlukan untuk pemukiman, budidaya pertanian, hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Sebagai tipologi desa tua, adat istiadat masih dipegang kukuh dan mempunyai peran dalam menyelesaikan semua permasalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Peran lembaga adat tidak saja terlihat dalam mengatur hubungan sosial juga berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Menurut cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sejarah desa Batu Kerbau diawali dari kedatangan rombongan Datuk Sinaro Nan Putiah dalam rangka menelusuri perjalanan Cindurmato mulai dari Alam Minang Kabau tepatnya Pagarruyung Tanah Datar melalui Alam Kerinci kemudian menghiliri Air Liki baru masuk ke Batang/Sungai Napat di sekitar Gunung Rantau Bayur dan menetap dihulu sungai Samak (Batang Pelepat). Disini kemudian rombongan tersebut menetap dan mendirikan dusun dengan berbagai aktifitasnya pertanian seperti berternak dan berkebun.

Struktur pemerintahan berpegang kepada pepatah adat yang berbunyi "Alam barajo, negeri berpenghulu", dimana sebagai wakil pemerintahan Pagaruyung diangkat penghulu alam "Dt Sinaro Nan Putiah" yang dibantu oleh "Tiang Panjang" dan "Nenek Rabun" bergelar "Dt Bendaharo " tinggal di Batu Kerbau dan "Dt Rangkayo Mulie" di Baru Pelepat dengan wilayah meliputi Batu Kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang, Pedukuh dan Baru Pelepat. Masyarakat hidup turun temurun dipinggir hutan, dengan batas wilayah adat berdasarkan kekuasaan Dt Sinaro Nan Putiah, dibunyikan sebagai "Kelumbuk nan berbanir, bemban nan berduri, lubuk tidak berikan salimang, dan rimbo tidak berkuao, di hilir berbatasan dengan Rio Maliko Lubuk Tekalak, di mudik dengan Batu Kijang Alam Kerinci, Batu Bertanduk dengan Senamat/Rantau Pandan dan Bukit Kemulau/golek air guling batu dengan Batang Kibul Tabir/Sarko".

Tekanan yang tak Kunjung Habis
Masuknya konsesi HPH pada tahun 70-an, diawali PT Alas Kusuma, lalu PT Rimba Karya Indah masyarakat mulai tersisih, karena tidak lagi bisa mengambil hasil hutan non kayu untuk menambah penghasilan dan kebutuhan kayu ramuan. Operasi HPH di hulu-hulu sungai mengakibatkan pada musim kemarau sangat kesulitan memperoleh air minum, karena sungai merupakan penyedia air utama. Sedangkan pada musim hujan air menjadi keruh, longsor dan banjir. Dampaknya setiap musim wabah penyakit menular (muntaber) kerap melanda. Selian itu peracunan ikan dihulu oleh para pekerja membuat ikan sepanjang aliran Batang Pelepat mati, dampaknya masyarakat kesulitan untuk memperoleh ikan sebagai salah satu protein hewani yang penting.

Beberapa kali bujuk rayu para investor, baik sawit, karet maupun HTI sudah datang silih berganti membujuk masyarakat agar mengizinkan mereka membuka perkebunan, sampai hari ini masyarakat masih tetap menolak. Pasca reformasi, tekanan tidaklah surut bahkan makin menjadi-jadi. Illegal logging yang dilakukan oleh orang luar desa dengan backing aparat keamanan, anggota dewan, staf kecamatan dan lainnya terus merongrong kawasan htan di Batu Kerbau. Beberapa upaya untuk menangkal telah dilakukan, salah satunya dengan menangkap pelaku dan menyita kayu illegal yang diambil dari hutan lindung desa. Dampaknya nyaris terjadi perang terbuka antara masyarakat dengan para pelaku illegal logging. Pihak terkait tidak merspon hal ini. Saat ini tengah berebut untuk masuk PT. Aman Pratama dan salah stau KUD yang “dimodali”oleh Malaysia untuk membuka perkebunan sawit, namun masyarakat tetap kukuh menolak.

Pengakuan kawasan kelola rakyat oleh Pemerintah Daerah belum menjadi jaminan karena kebijakan turunan oleh Dinas Instansi Teknis masih belum menjadikan Surat keputusan Pengakuan sebagai rujukan, akibatnya berbagai kebijakan-kebijakan baru yang berdampak negatif terus bermunculan seperti izin IPH/IPK, transmigrasi, perkebunan sawit dan lainnya.

Kesadaran yang tak Kunjung Sirna
Kesadaaran untuk memperjuangkan agar hutan dan lubuk, sebagai bagian terpenting untuk hidup dan kehidupan telah dimulai sejak tahun 1988, diinisiasi Datuk Rasyid yang menjabat Kepala Desa saat itu untuk mempertahankan hutan yang ada disekitar desa agar jangan diambil oleh pemegang HPH. Selain itu kesulitan masyarakat untuk mendapat ikan semakin terasa. Beberapa tokoh masyarakat dan tetua kampung berkumpul membahasnya. Disepakati untuk membuat lubuk larangan, yang pertama disepakati adalah lubuk larangan Batu Kerbau dan lubuk Mata Kucing. Lubuk larangan menyimpan berbagai potensi jenis ikan lokal yang saat ini mulai jarang ditemukan seperti ikan semah, barau, meta, dalum, baung, batu, bajubang belang, belido. Bahkan pada tahun 1996 saat diadakan panen oleh Bupati Kepala Daerah TK.II Bungo Tebo didapat ikan semah seberat 16 kg. Hasil panen ikan lebih dari 1 ton, uang penjualan di gunakan untuk membangun sarana umum bagi kepentingan masyarakat. Pembuatan lubuk larangan ini diikuti oleh dusun-dusun lain di desa Batu Kerbau. Pembuatan lubuk larangan ini dikuti dengan kesepakatan seluruh masyarakat dalam sebuah pertemuan desa yang biasanya berbentuk pengumuman sehabis sholat jum’at. Sangsi bagi yang melanggar, diputuskan oleh tokoh masyarakat dan tetua adat. Sangsi berupa 1 ekor kambing, 20 gantang (50 kg) beras, kelapa 20 butir dan 4 kayu kain serta sangsi agama yaitu sumpah dengan membacakan surat Yasin dan Al-Quran 30 juz. Kesepakatan ini ternyata berhasil, terbukti dengan tidak adanya lagi orang meracun ikan di Sungai Pelepat.

Hasil hutan non kayu seperti tanaman obat-obatan, jernang, manau, rotan, madu, buah-buahan, petai, jengkol, kabau, ikan dan potensi hutan lainnya sebagai salah satu tambahan penghasilan serta pemenuhan kebutuhan masyarakat, makin sirna karena terus menerus dibalak oleh pemilik konsesi HPH. Pada tahun 1993 kesepakatan dilanjutkan dengan penunjukkan Hutan Adat, Hutan Lindung Desa dan Kawasan Pelestarian salak alam. Latar belakang pembentukannya karena sepuluh tahun terakhir sangat gencar masuk berbagai izin Hak Pengusahaan Hutan dan areal Perkebunan Besar Swasta. Kondisi ini telah membuat desa-desa di sekitar Batu Kerbau kehilangan ulayatnya. Sebagai akibatnya banyak sesap juga hutan cadangan telah berubah fungsi.Lewat pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Kaum Adat dan pemuda pada tahun 1995 disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Hutan adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta Pemerintahan desa, sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat setinggi 26 meter, air terjun Sei Seketan I setinggi 65 meter dan Sei Seketan II setinggi 42 meter, gua-gua alam, panorama yang indah, dan tempat untuk bersampan serta memancing.

Kesepakatan ini dimotori oleh para tetua adat, pegawai syara’ dan pemerintahan desa, sebagai usaha untuk mengelola hutan yang lestari sehingga dapat dipergunakan pada masa yang akan datang. Batas-batas hutan belum defenitif tapi masyarakat menggunakan batas-batas alami, untuk Hutan Adat Desa meliputi hutan yang berada antara Bukit Gedang dan Bukit Menangis yang terletak antara Batang Pelepat dan Batang Kibul. Potensi kayu yang ada di dalam hutan adat disepakati dapat dipergunakan untuk keperluan desa, seperti pembangunan mesjid, pembangunan jalan dan jembatan serta sarana dan prasarana lainnya. Sedangkan lahan yang ada di dalam hutan adat nantinya jika penduduk di desa Batu Kerbau semakin banyak maka lahan tersebut akan dibagikan kepada masyarakat yang tidak mempunyai lahan.

Potensi kawasan Hutan Lindung dan Hutan Adat Desa serta Lubuk larangan yang sangat kaya bermacam tanaman obat, tanaman buah, salak alam lokal, serta berbagai jenis ikan dan satwa menambah makin terbukanya peluang dan semangat masyarakat untuk mempertahankan kawasana tersebut.Kegiatan pendampingan yang dilakukan seperti identifikasi lapangan dan pengumpulan data dasar, selanjutnya dalam upaya legal drafting telah dihimpum kesepakatan masyarakat yang dituangkan ke dalam bentuk piagam kesepakatan pengelolaan sumber daya alam yang telah ditandatangani pada tanggal 24 April 2001. Penandatanganan piagam kesepakatan ini dilakukan oleh perwakilan masyarakat desa. Untuk selanjutnya diupayakan sosialisasi piagam kesepakatan tersebut dan dilakukan advokasi kebijakan untuk dikeluarkannya SK Bupati yang mengukuhkan hutan adat dan piagam kesepakatan masyarakat Desa Batu kerbau tersebut.

Akhir dan Awal Perjuangan
Saat ini Bupati Kabupaten Bungo telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor.1249 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo, dimana lima lokasi seperti Hutan lindung Batu Kerbau 776 Ha, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 Ha, Hutan Adat Batu Kerbau 386 Ha, Hutan adat Belukar Panjang 472 dan hutan adat Lubuk Tebat 360 Ha. Kawasan ini dikelola dengan kaidah hukum adat, yang telah dituangkan kedalam piagam kesepakatan. Untuk mencapai pengakuan memang bukan sesuatu yang mudah, butuh waktu sekitar 4 tahun, dengan menggandeng komitmen para pihak seperti Ketua Bappeda Bungo Tebo, Kepala Dinas Kehutanan, BPN, Kabag Hukum, Sekda dan Bupati. Dua Bupati, 3 Ketua Bappeda, 3 Kepala Dinas Kehutanan telah berganti untuk sebuah langkah awal pengakuan hak kelola rakyat. Pengukuhan kawasan kelola rakyat merupakan capaian maksimal sementara, karena persoalan lain telah menunggu seperti masih munculnya “makelar” perkebunan besar swasta yang mengintimidasi masyarakat.

Membangun kekuatan ditingkat rakyat menjadi prasyarat utama didalam perjuangan panjang untuk mendorong proses pengakuan, sehingga intimidasi dan bujuk rayu menjadi pisau tumpul yang tidak akan mampu mencacah komitmen bersama. Ditingkat fasilitasi lapangan memanfaatkan momen-momen kunjungan pengambil kebijakan seperti Gubernur Jambi, Direktur HKM Dephut, Bupati dan para aktifis bisa menjadi faktor penguat komitmen. Peran fasilitator yang mendorong pendidikan kritis (temu kampung, dialog Kabupaten), pemetaan partisipatif dan telaah hukum kebijakan. SK Bupati bukan akhir perjuangan, namun awal yang lebih berat dan panjang untuk meyakinkan semua pihak, kalau masyarakat akan mampu mengelola sumberdayanya secara adil, dmokratis dan lestari asal diberi peluang, perlindungan, pengakuan dan penghargaan.

BATU KERBAU, KEARIFAN TRADISIONIL DITENGAH KEPENTINGAN EKONOMI



Hari baru saja hujan, kendati tidak terlalu lebat. Jalan logging bagaikan kain basah yang kusust dan licin. Harus ekstra hati-hati untuk mengemudikan kendaraan roda dua, salah perhitungan sedikit pasti akan tersungkur dijalan berlumpur. Telah berkali-kali roda kendaraan berhenti berputar, karena telah penuh dengan tanah liat yang merah, sehingga harus dicungkil untuk bisa jalan kembali. Sekonyong-konyong terdengar suara menderu, tidak lama kemudian muncul mobil-mobil tronton berban sepuluh lewat. Diatasnya kayu-kayu bulat puluhan kubik erat terikat. Bagaikan strikaan, jalan kering dalam sekejap. Beberapa orang yang dijumpai menjelaskan bahwa kita harus hati-hati karena mobil-mobil logging merupakan raja jalanan disini, kalau tidak mengalah bisa terserempet.

Dikiri kanan jalan bekas kebakaran (pembakaran ?) hutan menjadi pemandangan panjang. Hanya Elang Hitam (Ictinaetus malayenis) sesekali berputar dan berteriak. Sekitar 86 Kilometer dari arah barat daya dari Rantau Keloyang ibu kota kecamatan Pelepat, dengan kondisi jalan 37 Kilometer jalan logging yang cukup baik, 7 Kilometer rusak dan sisanya jalan Kabupaten, perjalanan naik turun kendaraan baru berakhir. Batu Kerbau didepan mata. Udara sejuk, segera menyapa setelah hampir tiga bulan paru-paru dipenuhi asap sisa kebakaran hutan. Desa yang hampir semua penduduknya berasal dari etnis Minang Kabau merupakan salah satu dari 13 desa di Kecamatan Pelepat, terletak 366 Kilometer dari Ibukota Propinsi.

Sejarah desa Batu Kerbau diawali dari kedatangan Datuk Senaro Nan Putiah yang turun dari Alam Minang Kabau tepatnya Pagarruyung Tanah Datar melalui Alam Kerinci kemudian menghiliri Air Liki baru masuk ke Batang/sungai Pelepat di sekitar Gunung Rantau Bayur. Disanalah kemudian didirikan dusun dengan berbagai aktifitasnya seperti berternak dan berkebun. Pada suatu saat Kancil nan bertanduk emas hewan kesayangan Datuk hilang, membuat ia bersama Putri Jamilah istrinya turun mencari dengan membawa seluruh harta dan ternaknya sebanyak 99 ekor kerbau menaiki rakit. Ditengah perjalanan subang istrinya jatuh kedalam lubuk maka sebagai tanda diberi nama Lubuk Subang, ditempat lain seekor kucingnya juga tercebur, tempat tersebut dinamakan Lubuk Kucing.

Perjalanan terus berlanjut hingga suatu saat seekor kerbaunya meloncat kelubuk dan tidak mau naik rakit lagi, kebetulan lewatlah Sipahit Lidah dan langsung disapo/dikutuk menjadi batu. Lokasi kejadian itulah yang menjadi desa Batu Kerbau saat ini. Usaha pencarian diteruskan sampai ke Kerajaan Jambi, karena mendengar Raja Jambi punya Kancil nan bertanduk emas, ternyata memang betul binatang tersebut ditemukan, namun Raja Jambi tidak mau mengembalikannya, padahal Datuk Senanro Nan Putiah bersedia menukarkan seluruh hewan ternaknya untuk menebusnya. Akhirnya dicapailah kata sepakat, Raja Jambi tetap memelihara Kancil nan bertanduk emas sedangkan sebagai konsekuensinya Datuk Senanro Nan Putiah diberi tanah untuk tempat tinggal sesuai dengan pilihannya, akhirnya dipilihlah tumpak tanah tempat dimana kerbaunya menjadi batu yang di hilir berbatasan dengan Rio Maliko Lubuk Tekalak, di mudik dengan Batu Kijang Alam Kerinci. Kisah asal usul kejadian desa ini tetap diceritakan para orang tua pada anak-anaknya saat menjelang tidur.

Kearifan Tradisionil

Di desa Batu Kerbau harmoni kehidupan masyarakat begitu alami, hanya bermodal pancing, jala atau bubu masyarakat tidak akan takut tidak mendapat ikan untuk lauk sehari-hari. Penangkapan ikan dengan strum atau racun sangat diharamkan disini. Apabila sakit, bahan-bahan ureh untuk obat tradisionil bisa didapat di sesap-sesap maupun hutan desa. Juga buah-buahan , kekayuan, madu, rotan, pandan yang digunakan untuk membuat perlengkapan rumah tangga maupun membangun rumah.

Kondisi ini membuat masyarakat sangat melindungi sumberdaya alam desanya karena kalau habis mereka akan kesulitan mencari obat, lauk pauk maupun bahan bangunan. Sebab desa ini sangat jauh dari pasar. Untuk kepasar biasanya mereka menumpang mobil logging, tidak jarang yang berjalan kaki atau mencarter ojek dari desa sebelah. Untuk carter kendaraan minimal harus mengeluarkan uang Rp. 80.000. Kalau musim hujan bisa menggunakan rakit atau sampan. Sehingga keberadaan hutan disekitar desa sangat diperhatikan keberlanjutannya dan dilindungi.

M. Rasyid A.K yang telah menjabat Kepala Desa sejak tahun 1981 menjelaskan bahwa dari total luas wilayah 45.0000 Hektar, Hutan Adat desa sekitar 1.500 Hektar, Hutan Lindung Desa 2.500 Hektar dan Salak alam 330 Hektar. Batas-batas hutan belum definitif tapi masyarakat menggunakan batas-batas alami, untuk Hutan Adat Desa meliputi hutan yang berada antara Bukit Gedang dan Bukit Menangis yang terletak antara Batang Pelepat dan Batang Kibul. Sedangkan untuk Hutan Lindung Desa meliputi wilayah hutan yang berada antara Batang Pelepat, Batang Senamat Buat, Sungai Emas dan Sungai Isak. Sedangkan untuk Lubuk larangan, terdapat di hampir semua dusun yang mempunyai lubuk.

Kepala Desa yang biasa dipanggil Datuk menjelaskan latar belakang pembentukan dua kawasan lindung desa ini karena sepuluh tahun terakhir sangat gencar masuk berbagai izin Hak Pengusahaan Hutan dan areal Perkebunan Besar Swasta. Kondisi ini telah membuat desa-desa di sekitar Batu Kerbau kehilangan ulayatnya. Sebagai akibatnya banyak sesap juga hutan cadangan telah berubah fungsi. Masyarakat sendiri meyakini fungsi hutan sebagai sumber kekayan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan produk hutan non kayu seperti getah, rotan, damar, buah-buahan, tanaman obat-obatan, madu, kayu bangunan, protein hewani, tempat rekreasi, sumber mata air, bagian dari sisitim budaya khususnya masyarakat adat dan mengatur iklim. Sehingga masyarakat sangat berkopenten untuk menjaga dan mengawetkannya.

Lewat pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Kaum Adat dan pemuda pada tahun 1995 disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Hutan adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta Pemerintahan desa, sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat setinggi 26 meter, air terjun Sei Seketan I setinggi 65 meter dan Sei Seketan II setinggi 42 meter, gua-gua alam, panorama yang indah, dan tempat untuk bersampan serta memancing. Pihak Kecamatan sendiri sangat mendukung pembentukan kawasan lindung desa, bahkan Asep Hermawan Sekertaris Kecamatan Pelepat sangat berperan aktif didalam mewujudkan konsep kawasan lindung ini, sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melestarikan sumberdayanya. Sehingga masyarakat sendiri menganggap kalau Asep sudah menjadi bagian dari mereka.

M. Amin selaku Ketua Kerlompok Masyarakat Adat menjelaskan sangsi yang akan dikenankan bila anggota masyarakat melanggar kesepakatan adat baik mengambil kayu, membuka areal perladangan dikawasan yang dilindungi, menagkap ikan sebelum waktu yang ditentukan dilubuk larangan tanpa izi akan dikenakan sangsi adat. Sipelanggar ahrus meminta maaf secara adat dan membayar denda berupa satu ekor kambing, beras 20 gantang dan kain 4 kayu. Sampai sekarang belum ada satu orangpun yang melanggar kesepakatan ini.

Dikawasan hutan adat menurut masyarakat terdapat Rusa (Cervus unicolor), Kancil (Tragulus javanicus), Babi Hutan (Sus scrofa), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Beruk (Macaca nemestrina), Elang Ular (Spilornis cheela), Gagak Hutan (Corvus enca), Harimau Sumatera (Phantera tigris Sumatrae), Kuaw (Argosianus argus), Kalong (Pteropos vampyris), Kera (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Murai Batu (Copsycus malabaricus), Musang (Paradoxurus hermaphroditus), Rangkong (Buceros rhinoceros), Siamang (Symphalangus syndactylus), Simpai (Presbytis melalophos), Tenuk (Tapirus indicus), Ungko (Hylobates agilis) dan lainnya. Selain itu juga terdapat rotan, manu, damar , meranti, jelutung, gaharu dan lainnya.

Kawasan yang berisi tanaman khas desa berupa salak rimba dengan luas total 30 ha berada menyebar di sekeliling desa. Masyarakat menggolongkannya dalam beberapa jenis yaitu:, salak kelapa berkulit coklat dengan biji goncang rasanya manis dengan ukuran sebesar telur, salak abu berwarna coklat biji lekatpada daging buah rasanya manis, salak ular berwarna coklat biji lekat kedaging buah banyak mengandung air, salak tembaga berkulit kepala merah biji lekat pada daging buah rasanya manis, salak bawang berwarna coklat rasanya agakl kelat berukuran kecil. Selain itu juga enau yang berjumlah sekitar 1.200 batang terdapat di Hutan Adat dan Lindung Desa juga terdapat dikebun dan sesap masyarakat. Tumbuhan ini digolongkan oleh masyarakat dalam beberapa jenis seperti enau gajah daunnya rimbun dengan ruas pendek, batangnya besar, ijuknya rimbun dan tandannya panjang, serta rasa air manis. Enau berban berdaun rimbun, ruas panjang dengan tandan pendek, ijuk tipis dan rasanya manis. Enau ketari berdaun rimbun berbatang kecil, daun panjang, ijuk pendek dan rasanya manis. Tumbuhan ini baru dimanfaatkan sekedarnya, biasanya diambil niranya untuk bahan pembuat gula, ijuk serta daunnya untuk atap dan bahan kerajinan, sedangkan buahnya hanya sekali-kali diambil untuk dijadikan kolang-kaling/biluluak. Biasanya pada bulan puasa.

Ditepi-tepi ladang dan sesap terdapat Durian yang luasnya sekitar 110 Hektar, tumbuh liar, sehingga pada musim durian siapa saja bisa menikmatinya. Sedangkan duku, rambutan, biasanya ditanam dikebun bersama kulitmanis, karet dan tanaman lainnya.

Lubuk larangan yang terdapat di Batu Kerbau, Batu Kucing, Lubuk Tebat serta Belukar Panjang menyimpan berbagai potensi jenis ikan lokal yang saat ini mulai jarang ditemukan seperti ikan semah, barau, meta, dalum, baung, batu, bajubang belang, belido. Bahkan pada tahun 1996 saat diadakan panen oleh Bupati Kabupaten Bungo Tebo di Lubuk Larangan.ini didapat ikan semah seberat 16 kg. Hasil panen ikan lebih dari 1 ton, uang penjualan di gunakan untuk membangun sarana umum bagi kepentingan masyarakat. Harga ikan di Batu Kerbau relatif murah, untuk berbagai jenis ikan hanya Rp. 1.500/kg, sedangkan untuk semah Rp. 3000, padahal kalau di jual di pasar harga ikan rata-rata Rp. 5000/kg, dan untuk semah di Muara Bungo mencapai Rp. 15.000/kg.

Budaya tradisionil yang mengedepankan tokoh adat didalam penyelesaian konflik masyarakat, pemanfaatan sumberdaya alam juga berperan didalam menentukan waktu bertanamn padi. Nandung yaitu dendang sayang ibu-ibu yang menina bobokan anak-anakanya hampir terdengan tiap saat pada tiap rumah, sembari memasak atau aktifitas lainnya kaum ibu tetap menunjukan kasih sayangnya dengan dendang nan merdu. Nandung Salawat Nabi, kerap didendangkanpada masa penen sebagaiungkapan puji dan syukur atas keberhasilan panen. Pada musim menanjak padi dendang muda-mudi yang memadu kasih, terdengar seirama dengan terampilnya jemari mereka memanen padi. Nandung Air Liki dan parak lamapi kerap terdengar ditengah rimba dan ladang, didendangkanuntuk mengusir sunyi. Tari rangguk, piring, permainan ambung gilo dan lukah gilo menjadi permainan anak negeri yang tetap lestari sampai hari ini.

Desa dengan jumlah penduduk 897 jiwa atau 178 kepala keluarga yang terdiri dari 397 pria dan 500 wanita, berbatasan dengan Batu Bertanduk desa Muara Buat Kecamatan Rantau Pandan di sebelah Uatara, di Selatan berbatasan dengan jalan logging Kabupaten Sarolangun Bangko, di sebelah Timur dengan sungai Sikapas Kecil desa Baru Pelepat dan Barat dengan Batu Mato Kijang kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Kerinci. Pemenuhan kebutuhan pangan berupa beras didapat dari ladang yang ditanami padi ladang, biasanya masa panen diupayakan sebelum puasa, menerapkan pola pertanian tumpang sari dengan sayuran, karet, kulit manis, bedaro, kuluntunjuk, bacang dan cempedak hutan. Untuk mengobati penyakit didesa ini terdapat 18 dukun bayi terdiri dari 8 orang wanita dan 10 orang pria juga merangkap untuk pengobatan berbagai penyakit lainnya.

Keberadaan areal Hak Pengusahaan Hutan yang berbatasan langsung dengan wilayah desa dikuatirkan masyarakat akan merusak hutan adat dan lindung desa, karena pernah ada kejadian pihak HPH mengambil kayu dari hutan mereka. Belum jelasnya tata batas dan tidak adanya peta hutan lindung dan adat desa membuat masyarakat terkadang ragu apakah operasi HPH sudah masuk ke kawasan mereka atau belum. Kondisi ini terkadang dimanfaatkan oleh pihak luar untuk mengambil kayu dari kawasan ini.

Masyarakat sendiri untuk kehidupan sehari-hari sangat tergantung dari tanaman karet dan kulit manis, dan hampir semua penduduk pernah menjadi penambang emas tradisionil di sungai-sungai sekitar desa. Penambangan sederhana dengan menggunakan dulang biasanya dilakukan masyarakat ketika ada waktu senggang setelah menyelesaikan pekerjaan diladang dan tanaman karet tidak bisa disadap.

Keberadaan tanaman buah-buahan sampai saat ini belum termanfaatkan, karena jauhnya jarak desa dengan pasar. Sehingga pada saat musim salak, duku, rambutan atau durian biasanya tidak termakan oleh masyarakat. Untuk dijual keluar desa perlu modal yang besar khususnya untuk biaya angkut.

Kondisi yang begitu bersahaja dan akrab dengan alam mulai terusik sejak adanya
pengembangan besar-besaran hutan untuk industri kayu, pengalihan fungsi futan alam yang heterogen menjadi hutan tanaman homogen sehingga mengancam keanekaragaman hayati dan khasanah budaya masyarakat, pemnfaatan berlebihan oleh masyarakat luar desa yang hidup disekitar hutan karena makin sempitnya lahan budidaya dan peningkatan jumlah penduduk.

Masyarakat saat ini terus cemas jangan-jangan hutan yang selama ini mereka lindung dan kelola akan menjadi areal konsesi HPH atau perkebunan besar swasta, untuk itu daerah yang dijadikan Kaji Tindak IDT untuk Propinsi Jambi dan pernah dikunjungi Pak Mubyarto ini perlu dihargai kearifan tradisinya. Jangan sampai keraifan tradisionil ini kalah dari ilmu ekonomi konvensional yang sangat jarang menyinggung masalah lingkungan. Kondisi yang ada adalah pembukaan hutan untuk perkebunan swasta dan HPH sering hanya melihat sisi ekonominya saja, bagai mana dengan modal sekecil kecilnya dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam jangka waku secepat-cepatnya sebagai upaya pengembalian modal yang ditanaman dan dipertahankan selama-lamanya tanpa memperhatikan kesejahteraan dan penghargaan terhadap budaya masyarakat lokal.

Keberadaan kawasan konsesi HPH di desa ini dirasakan oleh masyarakat tidak ada manfaatnya bagi mereka, justru dengan pembalakan di hulu sungai kerap menimbulkan bencana seperti terjadinya air bah, air sungai keruh padahal masyarakat sangat tergantung dengan sungai sebagai tempat mengambil air minum, mandi dan cuci. Sehingga hampir tiap tahun penyakit muntaber menjadi wabah rutin yang harus ditanggung masyarakat, belum lagi meningkatnya serangan hama babi akibat penebangan hutan.

Apakah kehidupan sehari-hari masyarakat yang akrab dengan lingkungannya yang telah berjalan berpuluh tahun harus dikorbankan untuk mendongkrak ekonomi sesaat ? Sementara masyarakat hanya jadi penonton ketika sumberdayanya diangkut keluar dari hadapannya tanpa meninggalkan manfaat, dan bencana yang ditinggalkan siap untuk diterima.